Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XIII - 28 February 2011 - Cerita Seram Kaskus

Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XIII - 28 February 2011

28 February 2011

Diary…

Aku akan menceritakan kepadamu hal yang baru saja terjadi padaku, aku sangat tidak sabar daritadi untuk menuliskan segera kejadian tadi pada lembarmu.

Aku bertemu dengan sahabatku yang sudah lama sekali tidak bertemu. Temanku saat SD dulu.

Awalnya aku diajak oleh Cindy, kamu ingat kan? Teman dekatku dari SD sampai kuliah?

Iya, dia mengajakku bertemu dengan Lauren, teman SD yang lama sekali tidak pernah kudengar lagi kabarnya.

Berkat Facebook, Cindy bisa bertemu kembali dengan Lauren ini.

Singkat cerita, Lauren mengundang kami untuk merayakan ulang tahun anaknya yang paling bungsu.

Sayangnya, aku dan Cindy berhalangan untuk datang di hari minggu kemarin, karena itu kami baru bisa datang hari ini.

Kami datang menemui Lauren dan keluarganya, sayangnya suaminya sedang bekerja sehingga tidak dapat kami temui saat kami datang.

Saat kami datang, Lauren menemui kami sambil menggendong Stven anaknya. Menurut yang kudengar dari Cindy sebelum kami tiba, Stiven adalah anak Lauren yang keempat.

Stiven melihat kami dengan penuh penasaran dari gendongan mamanya, sedangkan ketiga kakaknya melihat aku dan Cindy dari atas anak tangga.

“Hai Stiven, umur berapa sekarang” tanya Cindy pada anak itu.

Stiven mengacungkan 4 jarinya. “Pintar” kata Cindy.

“Dia sudah bisa berhitung?” tanyaku pada Lauren.

“Belum sih, belum sampai tahap berhitung, baru mengajarkan angka untuk dihapal olehnya, itupun baru sampai angka 5” jawab Lauren.

“ohh, berarti sudah lumayan juga lho” kataku “Stiven anak keberapa hayo?” tanyaku.

Dia memalingkan mukanya pada kearah tangga kemudian mengajungkan tujuh jari padaku.

“Kok tujuh? Stiven anak keempat” kataku mengoreksi.

Stiven menggeleng dan mengacungkan kembali ketujuh jarinya.

Kali ini giliran Lauren yang mengoreksi anaknya “Stiven anak keempat sayang” katanya sambil memegang satu demi satu jari anaknya “Ko Sandy, Ko Salomo, ci Silvia, Stiven, semuanya empat” hitung Lauren pada anaknya.

Stiven menggeleng keras dan tetap menunjukkan tujuh jarinya sambil menangis keras.

Akhirnya Lauren menyerah dan menggendong anaknya untuk meredakan tangisnya.

“Menurutmu kenapa Stiven mengacungkan tujuh jari tadi Ren?” tanya Cindy ketika kami sudah duduk bersama setelah Lauren menidurkan Stiven pada tempat tidurnya, yang sampai dia hampir tertidur masih mengacungkan tujuh jarinya sambil merengek.

“Entahlah, yang pasti gue bahkan belum ngajarin Stiven untuk ngitung sampai tujuh lho” katanya.

“Mungkin kakak-kakaknya kali yang mengajari” usulku.

“Enggak mungkin, koko sama cicinya barengan gue pas ngajarin Stiven, kita semua baru ngajarin sampai lima kok”

“Ngomong-ngomong, Ren, kok lu gak ngenalin anak-anak lu yang lain ke kita?” ingat Cindy

Aku juga setuju dengan Cindy.

“Yah, kalian sih datangnya hari Senin, kalau kemarin aja bisa ketemu lha, laki gua juga ada. Lah hari Senin begini, anak-anak gue masih belum pulang sekolah kali, justru sebentar lagi jam 10 gue mau jemput”

Aku dan Cindy saling berpandangan heran.

Kemudian Cindy terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu sebelum akhirnya bertanya pada Lauren “Ren, sorry nih gue mau tanya aja” katanya membuka pembicaraan.

“Nanya apaan Cin? Ah lu mau nanya aja bikin gue takut deh, serius banget tampang lu” kata Lauren.

“Oh, sorry” kata Cindy salah tingkah “Gue takut lu tersinggung aja Ren, tapi gue penasaran aja”

“Yaudah, mau tanya apaan?”

“Kalau enggak salah, kata Vony kemaren ini lu sempet keguguran ya?”

Muka Lauren terlihat sedih “Iya, tadinya gue ama laki gue mikir anak cukup tiga aja, karena udah dapet cewek juga sebagai anak ketiga, makanya gue konsumsi obat-obatan supaya kagak hamil lagi” jelas Lauren.

“Enggak taunya Laki gue jadi sukses, kita jadi punya cukup rezeki, bisa beli rumah yang lumayan ini” lanjut Lauren “Nah, laki gue bujuk gue, mau enggak punya anak lagi, yang terakhir” katanya.

Aku dan Cindy hanya mendengarkan sambil manggut-manggut.

“Nah, katanya sih, karena obat-obatan KB yang gue konsumsi itu bikin rahim gue rada gimana gitu,akhirnya gue sering keguguran sebelum akhirnya dapet Stiven” jelas Lauren.

“Berapa kali keguguran Ren kalau gue boleh tau?” tanya Cindy lagi

“Tiga kali Cin, tadinya mah gue ama laki gue udah mau give up, taunya dapat Stiven” jelas Lauren sambil tersenyum sedih.

Aku dan Cindy kembali berpandangan, dan kami melihat ke arah tangga.

Di puncak tangga duduk tiga anak kecil, ketiganya lelaki yang menatap kearah kami. Cindy juga bisa melihatnya karena dia adalah salah satu temanku yang memiliki kepekaan untuk itu. Meskipun ‘kutukan’ dia tidak sebesar ‘kutukan’ku.

Kami berdua terpaku menatap ketiga anak kecil itu. Ketiganya terlihat sebagai anak-anak kecil biasa kecuali kulit mereka yang sangat pucat.

Ketiganya mengenakan baju putih-putih.

“Hei, kalian ngapain?” tanya Lauren yang langsung mengejutkan aku dan Cindy.

“Oh-eh.. enggak Ren, cuman lagi bengong aja” kata Cindy

“Bengong kok berdua, hahaha” goda Lauren “Eh, sory nih Cin, E****, gue kudu jemput anak-anak gue yang lain dari sekolah”

Kami berdua bangun dengan kikuk dan mengiyakan Lauren.

Segera Lauren menggendong Stiven yang masih tertidur dan menggendongnya sampai ke mobilnya.

Kemudian kami berpamitan dengan Lauren dan pulang dari situ.

Diperjalanan pulang aku merasakan hawa yang sangat dingin pada tengkukku.

Dengan reflek aku melihat ke cermin yang terpasang pada penghalang matahari di hadapanku.

Di kursi belakang mobil Cindy duduk ketiga anak itu berdampingan. Aku hanya bisa melihat sampai ke batas mulut mereka, ketiganya sedang tersenyum lebar.

Cindy juga menyadarinya dan melirikku.

Aku hanya menggeleng padanya dan mengisyaratkan bahwa ada yang ‘menumpang’ di belakang mobilnya.

Cindy hanya mengangguk kecil dan melanjutkan mengemudi, berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengacuhkan ‘mereka’.

Tapi harapan kami sia-sia untuk pura-pura tidak melihat ‘mereka’.

Dengan lirih ketiganya bersuara “satu..dua..tiga..” bisiknya mereka dengan lirih namun terdengar sangat jelas di telingaku.

Dan telinga Cindy… karena dia juga memucat, sama sepertiku.

“..Yang keempat.. mati…” bisik satu orang dari ‘mereka’

“..yang kelima…mati…” sambung satu orang dari ‘mereka’

“..yang keenam… mati…” disambung satu orang lagi

“Stiven ketujuh… Stiven ketujuh…” bisik mereka lagi berbarengan.

Mereka terus mengulang-ulang bisikan itu. Aku merasakan seluruh badanku bergetar… gemetar karena kedinginan dan karena perasaan sangat kelam dan gelap yang menyebar di seluruh mobil kami, sementara bisikan ‘anak-anak kecil’ itu terus berkumandang.

“Satu… dua… tiga… yang keempat… mati… yang kelima… mati… yang keenam… mati… Stiven ketujuh… Stiven ketujuh…” bisik mereka terus menerus.

Sampai akhirnya kami melewati sebuah rumah sakit yang besar di daerah itu.
Ketiga menyeruak kedepan dan berseru melengking “STOPP!!” seru ketiganya, dengan campuran suara seperti suara anak kecil dan orang dewasa yang berkata berbarengan.

Cindy menginjak rem sekuatnya hingga mobil kami berhenti mendadak.

Untung saja jalanan masih berupa jalan kompleks, jadi sangat sepi.

“Kami turun disini…”

“Kami turun disini…”

“Kami turun disini…”

Bisik mereka sambil menatap bergantian ke arah kami berdua.

“Kami mati disini…”

“Kami mati disini…”

“Kami mati disini…”

Ucap mereka sambil ketiganya menunjuk ke arah rumah sakit yang besar itu.

Kemudian mereka bertiga merangkak, melewati Cindy dan aku, kemudian menembus pintu dan menghilang.

Beberapa menit kemudian Cindy dan aku baru menemukan kewarasan kami.

Jantung kami berdua masih sama berdebarnya setelah mengalami kejadian tadi.

Sampai akhirnya Cindy berkata “Ayo.. kita lanjut pulang…”

Selanjutnya perjalanan kami tidak ada gangguan lagi sampai tiba di rumah. Sesampainya di depan kostku, Cindy berkata “Nanti gue telepon Lauren, buat nyaranin dia supaya doain anak-anaknya yang keguguran itu” katanya.

Aku hanya mengangguk setuju sebelum Cindy melanjutkan perjalanannya.

Kurasa ‘ketiga anak’ itu bukanlah ‘mereka’ yang jahat, tapi seperti arwah yang masih belum bisa melanjutkan ke dunia lain sebelum ada yang mengantar mereka dengan semestinya…


=== Cerita Selanjutnya ===