Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XVIII - 22 April 2011 - Cerita Seram Kaskus

Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XVIII - 22 April 2011

22 April 2011

Diary, sepertinya sudah lama sekali aku tidak menuliskan tentang ‘mereka’ di lembaranmu ya?

Setelah hampir sebulan rasanya tidak ada sesuatu yang cukup besar yang terjadi karena ‘mereka’ yang cukup untuk membuatku menuliskannya di lembaranmu.

Sampai hari ini…

Cerita yang akan kuceritakan ini masih sedikit mengguncangku, jadi maafkan aku ya Diary kalau aku tidak menggambarkannya dengan baik. Tapi aku berusaha untuk bisa menceritakan semua detailnya padamu.

Aku sudah cerita padamu kan? Kalau hari ini aku menengok salah seorang temanku yang sedang terbaring di rumah sakit karena sakit parah?

Iya, temanku R**** sedang berjuang mengalahkan kanker yang sedang menggerogoti tubuhnya.

Dia adalah salah satu teman baikku dan Cindy.

Pria penakut yang baik hati, yang langsung akan melarikan diri setelah mengetahui kalau sedang ada ‘mereka’ di dekat aku atau Cindy.

Sebenarnya aku sudah sangat enggan untuk pergi ke rumah sakit xxxxx xxxxx setelah pengalaman dengan arwah anak-anak Lauren yang tidak pernah dilahirkan itu.

Tapi bagaimanapun R**** adalah teman yang sangat baik. Cindy juga berpikir demikian. Karena itulah kami menahan keengganan kami dan pergi ke rumah sakit itu.

Seperti biasa, aku menumpang di mobil Cindy.

Sesampainya kami di rumah sakit itu, tidak perlu waktu lama sebelum kami didatangi oleh ‘mereka’.

Segera setelah mobil selesai diparkir, kami berdua merasakan hawa yang sangat dingin datang dari kursi belakang mobil Cindy.

“Kakak datang main?”

“Kakak datang main?”

“Kakak datang main?”

Duduk di kursi belakang, ketiga arwah anak-anak Lauren yang meninggal sebelum dilahirkan menyapa kami.

Aku menatap wajah Cindy dan bisa menangkap pertanyaan dibaliknya “Bagaimana mungkin mereka masih ada di sini?”

Pertanyaan itu juga timbul pada diriku. Setahuku Cindy telah mengatakan pada Lauren perihal arwah anak-anak kecil itu.

Tapi di sinilah mereka, di jok belakang mobil Cindy menyapa kami dengan senyuman mereka.

Cindy berbalik ke arah mereka dan berkata dengan wajah iba “Tidak, kakak datang untuk menjemput teman kakak, dia sedang sakit”

Ketiga arwah anak kecil itu saling celingukan melihat satu sama lainnya. Kemudian berkata lagi bergantian.

“Tidak boleh..”

“Tidak boleh..”

“Tidak boleh..”

Gantian kini diriku dan Cindy yang saling berpandangan heran karena jawaban dari anak-anak itu..

“Tidak boleh apa?” tanya Cindy dengan lembut.

Ketiganya saling berpandangan, kemudian wajah mereka berubah menjadi wajah ketakutan.

“Si Hitam jahat..” kata yang satunya.

“Si Nenek menakutkan..” sambung yang satunya.

“Si Merah suka mencekik..” sambung anak yang terakhir.

Aku dan Cindy saling berpandangan ngeri. Sebelum kami sempat menanyakan apa maksudnya ketiga anak kecil itu sudah menghilang dari jok belakang.

Menahan perasaan tidak enak yang kami berdua rasakan, kami memutuskan untuk segera pergi menemui Randy di kamarnya dan pulang sesegera mungkin.

Dan kamipun naik tangga, menuju lobby dari rumah sakit itu…

Aku tidak pernah menyukai rumah sakit, apalagi karena kutukanku ini..

Tapi seberapa banyakpun rumah sakit yang pernah kudatangi, belum pernah aku melihat rumah sakit yang dipenuhi oleh ‘mereka’ sebanyak ini…

Normalnya, arwah-arwah yang berada di rumah sakit terbagi dua jenis. Yaitu arwah yang tidak terlihat seperti arwah dan arwah yang sudah sangat jelas adalah ‘mereka’ karena luka-luka ataupun kondisi mereka yang tidak memungkinkan untuk dianggap sebagai manusia hidup.

Dan normalnya lagi, biasanya akan lebih banyak arwah-arwah yang bagaikan manusia hidup biasa, yang meninggal karena umur dan belum melanjutkan perjalanan mereka. Sedangkan arwah-arwah dengan wujud mengerikan biasanya hanya berkumpul dan terlihat di tempat-tempat tertentu saja di rumah sakit.

Tapi tidak di rumah sakit ini…

Dimanapun aku melihat, seluruh rumah sakit ini penuh dengan arwah-arwah dengan kondisi yang mengenaskan.

Seorang pemuda dengan leher terbelah separuhnya.

Seorang pemuda lainnya yang menyeret-nyeret tubuhnya di lantai rumah sakit.

Dan beberapa arwah lainnya yang masih menderita luka terakhir yang mereka dapatkan sebelum meninggal.

“Lis.. rumah sakit ini kayaknya beneran tempat orang-orang kecelakaan deh” bisik Cindy.
Aku hanya bisa mengangguk setuju. Melihat pemandangan di depanku aku hanya bisa menyetujui perkataannya. Bau amis darah dan bau busuk bangkai sangat kentara tercium di seluruh rumah sakit ini.

Aku menggenggam tangan Cindy dan menariknya ke resepsionis.

Dan jantungku hampir berhenti…

Di resepsionis, duduk seorang suster muda. Namun suster itu tidak sendirian, entah dia sadar atau tidak.

Di belakangnya, dia menggendong seorang nenek di bahunya. Nenek itu memakai kebaya berwarna ungu dan wajah nenek itu terlihat sangat tua karena seluruh kulit wajahnya seakan menggelantung karena keriput yang memenuhinya.

Mata nenek itu hampir tertutup separuhnya karena kulit wajahnya yang sangat kendur ditambah lagi rambutnya yang berantakan dan panjang hingga menutupi wajahnya.

Perlahan-lahan nenek itu mendongakkan kepalanya.

Dan dibalik keriput wajahnya, bola mata bersinar terang berwarna merah menatap padaku.

Mata itu begitu dingin dan penuh kejahatan.

“RAAAHHHHHHH!!” teriak nenek itu, menunjukkan mulutnya yang tanpa gigi.

Kemudian nenek itu melompat dari bahu suster itu dan mendarat di hadapan kami.

Kami segera berbalik dan lari, tidak peduli bagaimana suster itu memandang keheranan pada kami.

Nenek itu mengejar kami dengan kaki pendeknya dan lengannya yang panjangnya mencapai lantai, membuatnya lebih menyerupai binatang ketimbang manusia.

“RAAAHHHHHHH” teriaknya lagi.

Kami menengok ke belakang dan melihat si nenek mengejar kami dengan melompat-lompat dari punggung ke punggung orang-orang.

Nenek itu hampir menyusul kami dengan lompatan-lompatannya, namun tiba-tiba sesosok dengan kimono merah lewat dengan cepat.

Sosok itu menggunakan semacam tali merah yang menjerat leher nenek itu dan menyeretnya pergi menjauh dari kami,

Tidak lama kemudian keduanya menghilang di kerumunan orang.

“Hei, jangan lari-lari di rumah sakit” teriak seseorang di belakang kami. Seorang suster tua yang berwajah galak “Kalian sudah gede masih lari-lari” marahnya.

Cindy maju bicara “Maaf suster, tapi kami dengar teman kami lagi gawat, makanya kami buru-buru mau ke UGD” jelasnya. Cindy memang jagonya buat alasan.

“Oh gitu, UGD di sana, di sayap barat, paling ujung. Jangan salah belok, bisa nyasar ke kamar mayat nanti” ujarnya sambil beranjak pergi.

Kami paham mungkin suster itu tidak bermaksud apa-apa mengatakan hal demikian. Tapi setelah dikejar-kejar nenek tadi, kami jadi merasa sepertinya suster itu mengetahui sesuatu.

Kami melangkah dengan cepat menuju ke unit UGD sesuai dengan petunjuk dari suster tadi.

Tepat pada batasan sayap barat rumah sakit terdapat lorong yang sangat panjang. Namun sebelum kami mencapai lorong itu, aku dan Cindy sudah merasakan hawa dingin yang sangat pekat.

Di lorong itu kami melihat puluhan ‘mahluk’ yang mengenakan jubah berwarna hitam berkeliaran di lorong itu. Masing-masing dari mereka membawa rantai-rantai yang tampaknya tertambat pada sesuatu di dalam kamar-kamar yang banyak jumlahnya di sepanjang lorong itu.

Salah satu dari ‘mahluk’ itu melihat kami, aku dan Cindy langsung buru-buru lari dari situ dan sesegera mungkin menuju ke UGD tempat R**** di rawat.

Kami berjalan dengan terus melihat ke belakang, namun kami merasa beruntung tidak satupun dari mahluk itu yang mengikuti kami.

Kami sampai ke UGD tempat teman kami sedang di rawat.

Belasan ‘mahluk’ hitam itu berkumpul di samping salah satu tempat tidur yang terletak di UGD itu.

‘Mahluk-mahluk’ hitam itu semuanya menunduk ke arah seseorang yang terbaring di ranjang tersebut.

Aku memperhatikan lebih seksama ‘mahluk-mahluk’ itu dan melihat, kalau mereka sedang menghisap sesuatu seperti asap yang keluar dari tubuh orang yang terbaring itu.

“Apa mereka lagi makan arwah Lis?” bisik Cindy.

Aku menggeleng, karena akupun tidak mengerti apa yang kulihat.

Kemudian ‘mahluk-mahluk’ itu meluruskan tubuh mereka dan berdiri tegak berbarengan.

Tidak lama setelah itu, dokter dan para suster menyerbu masuk menuju ke arah orang yang terbaring itu sementara ‘mahluk-mahluk’ itu lari pergi menembus tembok dan menghilang.

“Lisa dan Cindy?” sebuah suara memanggil kami.

Kami berdua berbalik dan mendapati kakak R**** sedang berjalan ke arah kami.

Aku dan Cindy mengobrol dengan kakak dari R**** , sesekali aku menengok ke arah kamar UGD. Aku melihat dokter sedang memicu jantung dari orang yang dikerumuni oleh ‘mahluk’ hitam itu.

Kemudian aku merasakan pandangan dari belakangku.

Aku menengok…

Jauh di ujung lorong, berdirilah wanita dengan kimono merah yang sepertinya adalah kimono rumah sakit. Dia berjalan perlahan sambil menyeret seutas tali berwarna merah menyala juga. Wajahnya terlihat berwarna sangat putih yang tertutupi sedikit oleh beberapa utas rambut yang berantakan.

Aku menyenggol Cindy dengan sikuku, segera Cindy mendongak dan menatap ngeri pada wanita itu.

Kami segera berpamitan pada kakak perempuan R**** dan menjauhkan diri kami dari wanita itu segera.

Tapi di luar dugaan kami, wanita itu tidak berjalan mengikuti kami, namun segera berbelok dan berjalan menuju kamar UGD.

Kami tidak kembali ataupun menengok kebelakang lagi. Tapi langsung pergi ke menuju ke parkiran dan memasuki mobil kami.

“Kakak.. “ ujar tiga suara berbarengan dari belakang mobil.

Ketiga arwah anak kecil itu kembali duduk di jok belakang kursi Cindy.

“Lari.. si merah datang..”

“Lari.. si merah sudah dekat..”

“Lari.. dia di sini..”

Mereka bertiga menunjuk berbarengan.

Kami mengalihkan pandangan pada arah jari mereka menunjuk.

Di ujung mobil yang diparkir, si wanita berbaju merah jalan perlahan-lahan menuju mobil kami.

“Cin!!! Jalan!!!” teriakku pada Cindy.

Cindy segera menyalakan mobilnya dan menjalankannya.

Mobil Cindy melesat secepat mungkin untuk meninggalkan si wanita berbaju merah di parkiran mobil.

“Ahh sial!!” umpat Cindy ketika kartu prabayarnya kembali mengeluarkan tanda error pada mesin palang pintu keluar.

“Cin!!” teriakku ketika melihat si merah sudah berjalan di belakang kami dengan terseok-seok. Wajahnya menyunggingkan senyuman jahat. Tali merahnya kini diangkat dan dibentangkan di kedua tangannya.

“mbak!! Berapa parkir saya? Cepetan mbak saya buru-buru!!” teriak Cindy pada penjaga pintu parkir rumah sakit itu setelah menyerah untuk menggunakan kartu prabayarnya.

Cindy segera memberikan uang 50ribu pada penjaga parkir itu sambil memintanya membuka palang.

Tanpa menunggu kembalian, Cindy segera melesatkan mobilnya begitu palang penghalang terbuka.

“KRIIIIIITTTTTT”

Terdengar bunyi suara dari belakang mobil.

Aku menengok dan ternyata si wanita berkimono merah itu sudah mencapai mobil kami, sebelah tangannya sudah menggapai kap belakang mobil.

Hampir saja…

Setelah jauh dari rumah sakit itu, kami merasakan hawa dingin kembali pada jok belakang mobil.

Mereka kembali.. ketiga arwah itu.

“Si merah murka..”

“Si merah ingin menangkap kakak..”

“Si merah menyiksa yang lainnya sekarang..”

Kami mendengar kata-kata anak kecil itu dalam diam. Tidak ada satupun diantara aku dan Cindy yang mampu berkomentar apa-apa.

“Apa kalian tidak apa-apa?” tanya Cindy.

Ketiga anak itu memasang wajah bingung atas pertanyaan Cindy.

“Kami kan sudah mati..?”

“Kami kan sudah mati..?”

“Kami kan sudah mati..?”

Tanya mereka bertiga berbarengan.

“Iya… maksud kakak.. apa kalian tidak apa-apa dengan si merah?” tanya Cindy kembali.

Mereka bertiga saling melihat satu sama lainnya.

“Kami tidak bisa kembali..” kata yang satunya.

“Si merah mencari kami…” sambung satunya lagi.

“Kami akan bersama mama..” kata yang satunya lagi mengakhiri.

Cindy terlihat sedih, kurasa akupun juga pasti terlihat sedih mendengar kata-kata itu.

“Apa…. Mama kalian belum mengantarkan kalian dengan layak?” tanya Cindy lagi, suaranya bergetar.. kurasa dia sedang menahan tangis. Hal yang sama seperti yang sedang kulakukan.

Mereka menjawab berbarengan “Sudah..!” wajah mereka terlihat bahagia sekali.

“Kami mendapat nama..”

“Kami mendapat nama..”

“Kami mendapat nama..”

Ujar mereka bertiga sambil tersenyum sangat bahagia.

“Aku Samuel.. yang keempat”

“Aku Shane.. yang kelima”

“Aku Simon.. yang keenam”

Aku memandang Cindy, kali ini air mata sudah berurai di pipinya, dia berusaha keras untuk tidak menangis dengan keras.

“Samuel.. Shane.. Simon.. apa kalian tidak ingin untuk pergi ke surga?” tanyaku.

Ketiganya mengangguk. “Mau!” jawab mereka berbarengan.

“Kalau begitu kalian harus pergi ke surga yah? Mama sudah mengantar kalian kan?”
Ketiganya menggeleng. Kemudian mereka tersenyum lagi.

“Kami menjaga Stiven”

“Kami menjaga Stiven”

“Kami menjaga Stiven”

“Menjaga Stiven?” tanyaku.

Mereka kembali mengangguk.

“Si hitam mau mengambil Stiven…” kata Samuel.

“Si Merah juga mau mencekik Stiven…” sambung Shane.

“Kami melindungi Stiven…” sambung Simon mengakhiri.

Jujur, saat itu aku begitu terkejut mendengar penuturan mereka. Begitu juga Cindy karena dia segera menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

“Apa maksud kalian?” tanya Cindy sambil menyeka air matanya.

“Kami bertiga di makan si hitam..” kata Samuel.

“Kami bertiga di ikat si merah..” kata Shane.

“Kami bertiga diambil dari mama..” sambung Simon.

Aku dan Cindy saling bertatapan.

“Kami melindungi Stiven..”

“Kami melindungi Stiven..”

“Kami melindungi Stiven..”

Bisik mereka bertiga sambil perlahan menghilang dari jok belakang mobil Cindy.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan kami dengan membawa banyak pertanyaan belum terjawab di benak kami.

Apa yang sebenarnya terjadi di rumah sakit itu? Bagaimana bisa sebuah rumah sakit ditempati puluhan dari ‘mereka’? apa sebenarnya si hitam dan si merah itu?

Oh ya Diary, hampir lupa, tadi Cindy menelponku, katanya kap belakang mobilnya mendapat empat goresan benda tajam. Yang anehnya, goresan itu benar-benar mirip cakar.


=== Cerita Selanjutnya ===