Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXI - 30 Mei 2011 - Cerita Seram Kaskus

Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXI - 30 Mei 2011

30 Mei 2011

Diary hari ini aku baru pulang dari rumah omaku di desa.

Sepertinya aku lagi-lagi berurusan dengan ‘mereka’ lagi.

Tapi aku takut Diary…

Rasa takut yang benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya…

Bukan berarti aku tidak takut ketika bertemu dengan ‘mereka’ yang lain sebelumnya.

Tapi entahlah… kali ini aku merasa nyawaku terancam.

Aku akan coba menceritakan sebisaku padamu ya..

Jadi kurang lebih tiga hari lalu aku kembali ke kampungku di ********

Sudah sekitar empat tahun aku tidak kembali ke sana. Semuanya jadi terlihat berbeda, semuanya jadi terlihat telah melompati waktu hingga menjadi desa yang jauh lebih modern dari sebelumnya.

Sudah ada plaza kecil yang dibangun di dekat bandara, dan suasananya lebih terlihat bagaikan di perkotaan sekarang.

Tapi sayangnya kampungku bukan di daerah kota itu, namun berjarak 3 jam perjalanan dengan bus ke pedesaan.

Jadi aku menaiki bus yang akan membawaku ke kampung halamanku.

Tiga jam perjalanan tidak terasa karena aku tertidur hampir di seluruh perjalanan. Sepertinya perjalanan dari kost ku di Jakarta sampai ke Bandara saat subuh tadi dan ditambah dengan perjalanan dengan pesawat yang kurang nyaman membuatku sedikit letih.

Akhirnya sampailah aku di kampung halamanku yang tercinta.

Aku segera menuruni bus dan berlari-lari kecil menuju rumah tempat aku tinggal semasa kecil.

Rumah yang sederhana namun selalu apik terawat oleh tangan dingin nenekku.

“Oma!!” aku berseru memanggil nenekku dari luar pagar.

Ketika aku memasuki ruangan tengah, aku melihat nenekku duduk dengan sesosok nenek berkebaya putih-putih yang duduk di hadapannya.

Di belakang nenek dengan kebaya putih itu, berdiri sesosok mahluk tinggi besar. Mahluk itu mengenakan baju hitam-hitam dengan beberapa alur-alur emas di pakaiannya yang menyerupai nyala api layaknya seorang bangsawan, rambutnya panjang sepunggung dan putih, serta sangat lebat hingga terlihat mekar dan menutupi sebagian tubuh dan wajahnya tertutup topeng polos. Maksudnya topeng itu benar-benar polos, hanya permukaan putih saja, tanpa adanya lubang untuk mata dan lainnya. Benar-benar hanya permukaan putih polos.

‘Mahluk’ tinggi besar itu mengarahkan wajahnya yang tertutup topeng ke arahku.

Aku mundur sedikit ke arah pintu masuk. Aura dari ‘mahluk’ itu menakutkanku.

“Lis? Kenapa malah mundur gitu? Kenalin ini teman oma, namanya Oma Eli” kata nenekku.

Nenek berkebaya putih-putih yang sebelumnya kukira adalah salah satu dari ‘mereka’ tersenyum ramah melihatku.

Kemudian dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku seraya merangkulku.

“Oh ini yang namanya Elisa ya. Nama kita mirip lho” kata nenek Eli.

“Iya, salam kenal oma Eli” jawabku.

“Kamu bisa lihat Piyak ya?” tanya nenek Eli sambil menyebutkan nama yang ternyata adalah nama ‘mahluk’ di belakangnya.

Aku menatap nenek Eli, mimik wajahnya nampak seperti sedang menunggu jawabanku. Nenek Eli sedang mengetesku, pikirku.

Aku menjawab “Ya oma, aku bisa”.

Nenek Eli tersenyum, kemudian berbisik lagi padaku “Tidak apa-apa, bisa melihat si Piyak artinya bisa mendapat perlindungan”

“Perlindungan?” tanyaku.

Sebelum nenek Eli sempat menjawab, Nenekku memanggil kami “Kalian ini bisik-bisik apa?” tanyanya.

Nenek Eli hanya menjawab “Cucumu ini cantik sekali, wo bilang dia mirip cucu wo” jelas nenek Eli ke nenekku.

“Hmm-hmm” nenekku mengangguk-angguk “Jarang-jarang yu bisa langsung dekat sama orang, cucu wo ini memang kesayangan wo, tapi bolehlah wo kasih izin ke rumah yu nanti, biar yu tidak kesepian terus. Sudah tua tapi tidak ada yang kunjungi” kata nenekku.

“Bagus itu, bagus itu” kata nenek Eli “nanti main ke rumah oma ya” ucap nenek Eli menepuk bahuku dan beranjak ke luar pintu.

“Iya oma, nanti saya pasti datang” jawabku pada oma Eli yang melambai-lambaikan tangannya pada kami dari luar pagar.

Jadi, setelah makan siang aku berniat berjalan-jalan ke sungai belakang tempatku sering main-main dulu saat masih kecil.

Sungai kecil yang berasal dari air terjun mini. Air yang mengalir di sungai itu sangat jernih, dan lapangan rumput hijau yang terletak di sebelah hutan yang sangat luas menjadi tempat bermain anak-anak di desaku.

Benar saja, begitu sampai di sana, beberapa anak-anak terlihat bermain-main di pinggir sungai itu. Anak-anak kecil yang ditemani oleh beberapa anak yang sudah remaja tampak bersantai di lapangan rumput itu.

Akupun ikut bersantai di padang rumput dengan merebahkan badanku dan berbaring di rerumputan.

Selagi berbaring, mataku menangkap semacam aliran asap hitam melintas di udara di hadapanku.

Awalnya aku mengira ada yang merokok sehingga aku langsung bangun dan berniat menegurnya.

Tapi aku tidak menemukan seorangpun merokok dari remaja-remaja yang berkumpul di tepi sungai.

Aku kembali mendongak dan mendapati kalau asap itu masih berada di sana. Aku mengikuti alur asap itu dan mendapati kalau asap hitam itu datang dari arah hutan.

Aku segera berdiri dan berjalan menuju hutan itu. Khawatir kalau-kalau terjadi kebakaran hutan yang dampaknya akan sangat besar pada desaku yang dikelilingi oleh hutan sebagai pembatas desa.

Asap itu bersumber dari tengah kolam kecil yang di tengah-tengahnya terdapat batu besar.

Tepat diatas batu itu, aku melihat gumpalan berwarna hitam pekat. Lebih hitam dari apapun yang pernah kulihat sebelumnya. Seakan gumpalan hitam itu menyedot cahaya di sekitarnya sehingga warna hitam yang terlihat benar-benar sangat pekat.

Gumpalan hitam itu terlihat melayang-layang di atas batu itu. Aku baru memperhatikan bahwa asap berwarna hitam yang kulihat bukan berasal dari gumpalan itu, melainkan asap itu diserap masuk oleh gumpalan hitam yang melayang itu.

Aku mencium bau hangus bercampur bau belerang yang sangat kental berasal dari gumpalan hitam itu, dan semakin kentara semakin banyak asap hitam terserap ke dalam pusat gumpalan hitam ini.

Tidak butuh waktu lama untuk seluruh asap hitam terhisap seluruhnya ke dalam gumpalan hitam itu.

Dari dalam gumpalan hitam itu, aku melihat sebentuk satu mata terbuka.

Mata itu memiliki bentuk yang bulat sempurna dengan pupil yang sama bulatnya dan berwarna merah cerah seperti batu ruby.

Mata merah itu menatapku, aku merasakan tubuhku kaku tidak bisa bergerak seperti ditahan oleh sesuatu.

Kemudian, ‘mahluk’ dengan satu mata itu melesat cepat ke arahku dan menerjangku dengan keras hingga membuatku terpental.

Aku hanya merasakan rasa sakit bagaikan ditabrak oleh sesuatu yang besar dan berat. Aku sempat merasakan perasaan badanku melayang selama beberapa saat sebelum rasa sakit yang menajam dan dingin terasa dari bagian belakang kepalaku.

Setelah itu semuanya gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Hingga akhirnya aku tersadar oleh suara yang memanggil namaku.

Aku membuka mataku dan melihat nenek Eli duduk disampingku.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya nenek Eli lembut.

“..” aku berusaha membuka mulutku untuk menjawab tapi tidak ada suara yang keluar. Karena itu aku hanya bisa mengangguk kecil.

“Kamu bertemu dengan ‘dewa’ di desa ini rupanya” nenek Eli berkata lembut kepadaku.

“Dewa?” bisikku lirih.

“Iya, kamu inget kan tentang hutan ‘dewa’?”

Aku mengangguk lagi.



Catatan :

Hutan dewa adalah cerita yang diceritakan turun temurun di kampungku. Inti ceritanya adalah adanya ‘dewa’ ganas yang menguasai kampung kami ini. ‘Dewa’ ini menguasai malam, dan mengancam penduduk desa akan malam yang tidak berakhir apabila penduduk desa tidak memberikan sesajen padanya.

Penduduk desa akhirnya memberikan sesajen berupa hewan kurban dari ternak mereka. Hingga pada akhir cerita, ‘dewa’ lalim ini diusir oleh seorang sakti yang kebetulan lewat kesana. Mahluk yang menyebut dirinya ‘dewa’ itu akhirnya disegel di sebuah batu di tengah hutan. Seorang sakti itu juga memasang semacam ‘dinding pembatas’ sehingga penjara dewa itu tidak kasat mata oleh para penduduk, dan agar ‘dewa’ itu tidak bisa melihat para manusia.

Tapi, penduduk memilih untuk menjauhi hutan tersebut dengan menjadikannya sebagai hutan keramat atau hutan dewa untuk mengingatkan anak-anak mereka agar tidak masuk ke hutan itu.


“Maksud nenek… ‘mahluk’ hitam yang kulihat tadi?” tanyaku, suaraku terasa serak dan lemah.

Nenek Eli mengangguk “Iya, itu adalah si ‘dewa’ sesat dari hutan dewa”

Aku berusaha mengingat-ingat kejadian pertemuanku dengan si ‘dewa’ itu hingga sebelum kesadaranku menghilang.

“Nek!” ujarku seraya bangkit duduk.

“Hmm?”

“Mahluk itu… maksud saya ‘dewa’ itu… ‘dia’…”

“Lepas kan? Dia sudah tidak ada di atas batu segelnya, nenek sudah lihat”

Aku merinding sampai ke tulang belakangku.

“Apa.. itu gara-gara saya?” tanyaku.

Nenek Eli menggeleng dan tersenyum lembut “Tidak lah, kamu datang dan tidak datangpun ‘dia’ tetap akan lepas hari ini, justru kamu lagi sial kebetulan ada di sana pas waktu dia lepas” jelas nenek Eli dengan lembut seraya mengusap rambutku.

Nenek Eli membantuku berdiri dan mengajakku berjalan pulang ke desa.

“Kamu lihat wujudnya?” tanya nenek Eli

Aku teringat wujud hitam dengan satu mata itu dan menceritakannya pada nenek Eli. Mendengar ceritaku, beliau hanya mendengarkan dengan serius dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Satu mata ya.. mungkin kita masih bisa melakukan sesuatu dengan itu” kata nenek Eli.

Kemudian nenek Eli mengambil sesuatu dari lipatan kebayanya. Sebuah batu berwarna putih yang sangat bening seperti kaca tersemat di gelang dengan ukiran wayang.

Nenek Eli membawa gelang itu ke dekat mulutnya dan membisikkan kata-kata yang tidak bisa kudengar dan meniup batu di gelang itu.

Hening beberapa saat. Kemudian dari kejauhan aku melihat sosok dengan rambut putih panjang melesat ke arah desa dari atas bukit.

Aku menatap nenek Eli, beliau tersenyum “Iya, itu Piyak, penjaga oma” jelasnya.

Kami kembali ke desa dan nenek Eli mengantarku sampai ke rumah nenekku. Kemudian nenek mengajak nenek Eli untuk makan bersama. Setelah beberapa bujukan akhirnya beliau bersedia untuk ikut makan malam bersama kami.

Hari sudah terlalu malam ketika nenek Eli mohon diri untuk pulang, karena itu nenekku menawarkan beliau untuk menginap saja.

Nenek Eli menolak dengan alasan tidak enak untuk merepotkan nenekku. Tapi sesaat nenek Eli melirikku dan menyetujui tawaran nenekku.

Aku langsung tertidur ketika menyentuh Kasur.

Dan terbangun karena merasakan rasa basah pada punggungku.

“Uhh….”

“Ahh!!”

Aku terbangun dengan mendapati kalau aku sedang terbaring di pinggiran danau tempat batu besar ‘dewa’.

Dan di atas batu besar itu, berdiri sosok yang berbentuk manusia, hanya saja aku tidak bisa melihat tubuh dari ‘mahluk’ itu karena seakan dia terbentuk dari bayangan. Seluruh tubuhnya hitam pekat sehingga terlihat bagaikan siluet yang kontras dengan terang bulan yang menyinari danau kecil itu.

Seluruh tubuh ‘mahluk’ itu gelap, namun di bagian yang adalah kepala dari ‘mahluk’ itu, sebuah mata menatapku tajam.

Mata yang sama seperti mata pada gumpalan hitam yang kulihat siang tadi.

‘Mahluk’ itu mulai melangkah dari batu tempatnya berdiri itu, menuruni batu itu dan berjalan dengan santainya di atas permukaan air.

Semakin ‘mahluk’ itu mendekat, aku baru menyadari kalau ‘mahluk’ ini sangat besar. Tingginya hampir dua kali lipat dari tinggiku sendiri.

Aku hanya diam membatu ketika ‘mahluk’ itu menghampiri dan berdiri menjulang tinggi di hadapanku.

Matanya yang bersinar bagaikan batu ruby menatapku tanpa bergeming. Bentuk matanya kini lebih menyerupai mata manusia, lengkap dengan sudut lancip di kedua sisinya berbeda dengan bentuk bola mata bulat yang kulihat pada saat ‘mahluk’ ini berbentuk seperti gumpalan hitam.

Tanpa peringatan apa-apa, ‘mahluk’ itu mencekikku dan mengangkatku dari tanah.

“ookh!” seruku tertahan karena leherku yang sedang terjepit tangan besar berjari jamak ‘mahluk’ itu.

Dia mengangkatku hingga setingkat dengan tinggi matanya. Mata ruby itu menatapku dengan pandangan kosong pada awalnya.

Kemudian, perlahan-lahan mata itu melengkung…

‘Mahluk ini tersenyum?’ pikirku.

Tapi aku sangat yakin, ekspresi yang diwakilkan oleh mata itu tidak lain adalah mata yang tersenyum.

Aku bertanya-tanya apa maksud ‘mahluk’ ini tersenyum padaku.

Tapi aku tidak pernah sempat memikirkan hal itu karena ‘mahluk’ itu melemparku mundur hingga aku mendarat pada punggungku.

“Ughh!!” eraman tertahan keluar dari mulutku, rasanya udara dipaksa terpompa keluar dari tubuhku.

Aku membuka kedua mataku dan mendapati kalau ‘mahluk’ itu sudah berdiri menjulang tepat di atas tempatku berada.

Tangannya kembali menggapai tubuhku.

Kali ini dia menggenggam tanganku hingga tubuhku terangkat.

“Aduh…” keluhku karena menahan sakit yang muncul dari otot lenganku yang dipaksa menahan berat tubuhku.

Lagi-lagi tanpa peringatan ‘mahluk’ itu menyentakku dan melemparku lagi.

“AAHHH!!” teriakku kesakitan ketika aku merasakan kalau lenganku terlepas dari engselnya.

“AHHH!!”

“AHH!!”

Aku hanya bisa mengerang tidak karuan sambil memegang lenganku yang kini terasa bagaikan terbakar dan disundut oleh es bersamaan.

Keringat dingin mulai membasahi wajah dan tubuhku.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHA”

Tawa tanpa suara memasuki kepalaku.

Tawa yang sangat kencang dan begitu Cumiakkan telinga.

Aku melirik ke arah ‘mahluk’ itu dan melihat matanya kembali tersenyum.

Namun yang lebih mengerikan adalah ketika mata ‘mahluk’ itu yang semula berada di tengah-tengah kepalanya perlahan bergeser, dan sebuah mata lagi perlahan bagaikan tumbuh dan membuka di sisi wajahnya satu lagi.

Yang menjijikkan… adalah kedua mata ‘mahluk’ itu tidak sama ketinggiannya. Sebuah mata yang baru tumbuh itu berada jauh di atas mata mahluk itu sebelumnya.

‘Mahluk’ itu kembali berjalan mendekatiku. Kini dia tersenyum dengan kedua matanya.

‘Krincing-Krincing-Krincing’

Terdengar bunyi krincingan yang datang dari belakangku.

Aku hendak menengok ketika nenek Eli sudah duduk berlutut di sebelah kepalaku.

Di tangannya dia menggenggam tali-tali berwarna kuning yang dipenuhi oleh puluhan atau ratusan bel kecil.

Nenek Eli menggoyang-goyangkan pita-pita penuh bel kecil itu hingga berbunyi nyaring dan berirama.

“Kamu nggak apa-apa kan mey?” tanya nenek Eli (Mey adalah panggilan yang biasa digunakan orang tua ke anak gadis di desaku).

Aku hanya mengangguk, tapi tidak sengaja aku meringis dan berteriak sakit ketika kembali merasakan lenganku yang terlepas dari engselnya.

“Oh..” nenek Eli melihat dan tampak baru menyadari keadaanku.

“Sabar sebentar” kata nenek Eli, kemudian dia memutar-mutar sambil menggoyangkan bel-bel kecil itu di atasku.

Kemudian, sekedipan mata, tampak wujud ‘Piyak’ sedang berlutut di seberang nenek Eli tepat disamping tubuhku.

Sang Piyak mengacungkan tangannya di atas badanku dan menghunus pedang Mandau hingga bersilangan dengan tangannya.

Kemudian, sang Piyak membuka telapak tangannya yang dipenuhi oleh aksara yang aku kenali sebagai aksara Sanskrit.

“Tutup mata mey” bisik nenek Eli.

Aku menurutinya.

Seluruh tubuhku dialiri oleh rasa hangat.

“Sudah tidak sakit kan?” tanya nenek Eli setengah berbisik ke telingaku.

Aku mengangguk.

“Ayo, tetap di sebelah oma ya” kata nenek Eli.

Lalu nenek Eli mulai menggoyang-goyangkan pita dengan belnya hingga bunyi gemerincing memenuhi hutan yang sepi itu.

Sementara sang Piyak, mahluk dengan rambut putih itu menggunakan pedang Mandaunya untuk menebas-nebas si ‘mahluk’ hitam itu.

Tapi pedang sang Piyak seakan menebas asap dan tidak mengenai si ‘mahluk’ hitam itu.

“Hmm” nenek Eli maju perlahan sambil menggenggam tanganku untuk mengikuti dia. Nenek Eli mengguncang pita belnya semakin keras sehingga bunyi gemerincing semakin memenuhi hutan sunyi itu.

‘CRINGG’

‘CRINGG’

‘CRINGG’

Nenek Eli menggoyangkan belnya dengan gerakan-gerakan terpatah-patah dengan langkah tegap.

Seiring dengan itu, sang Piyak melakukan tarian di depan si ‘mahluk’ hitam itu.

Kemudian nenek Eli menyebutkan kata-kata yang aku tidak mengerti artinya. Kemudian beliau menyentak tali merah yang berada di pangkal pita pengikat bel itu.

Kemudian beliau dengan tangan kirinya beliau menekan pundakku hingga aku menunduk lebih rendah dari tinggi beliau. Nenek Eli mengangkat tangannya tinggi dan memutar pita bel itu yang langsung tercerai berai menjadi ratusan bel-bel kecil yang terlepas dari pengikatnya dan berjatuhan di sekeliling kami.

Nenek Eli kembali menggumamkan mantra yang tidak aku mengerti artinya.

‘TAPP’ ‘CRINGG’

Nenek Eli menepukkan tangan di depan dadanya seperti posisi orang berdoa, dan tepat ketika tangannya menepuk, bel-bel kecil yang berceceran di tanah berbunyi nyaring bersamaan.

‘TAPP’ ‘CRINGG’

‘TAPP’ ‘CRINGG’

‘GROOOOOOOOOOAAAAAAAARRRRRRR’

Suara raungan tanpa suara bergema di kepalaku. Raungan itu rasanya membuat kakiku mati rasa hingga aku jatuh terduduk sambil menutup mataku.

“HAHH!!” ‘TAPP’ ‘CRINGG’

‘GROOAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaarrrrrr….’

Raungan tanpa suara itu bergema kembali di kepalaku, namun berbeda dari sebelumnya, raungan itu perlahan mengecil dan pada akhirnya menghilang.

Aku memberanikan diri membuka sedikit mataku, dan melihat si ‘mahluk’ hitam mulai terlihat kabur dan berangsur menghilang.

Namun, tepat ketika ‘mahluk’ itu menghilang sepenuhnya, aku kembali melihat ke arah dua mata ‘mahluk’.

Mata itu tersenyum….

Dan menatapku tajam….

Kemudian ‘mahluk’ menghilang sepenuhnya. Nenek Eli membantuku berdiri dan berkata dengan ramah “Dia sudah pergi” katanya.

“Apa dia sudah tersegel?” tanyaku.

Nenek Eli menggeleng “Oma hanya bisa mengusirnya dari desa ini, dan dia sudah mengakui kekuasaan Piyak atas desa ini. Selama Piyak masih melindunginya, dia tidak akan kembali kesini” jelas nenek Eli.

Aku mengangguk dan menatap ke sosok sang Piyak yang menyarungkan pedang Mandaunya kembali di pinggangnya dan perlahan menghilang.

Sisa hari-hari di kampungku berjalan dengan normal dan baik-baik saja semenjak itu.

Namun Diary, mudah-mudahan ini hanya perasaanku saja.

Tapi dalam perjalanan pulang ke sini, aku yakin aku merasakan pandangan dari kedua mata yang tersenyum itu.

Ditambah bau hangus dan belerang yang sangat kuat ketika aku berada di dalam pesawat.

Jujur.. itu membuatku sangat takut Diary.


=== Cerita Selanjutnya ===