Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXII - Bagian 2 - 15 Juni 2011 - Cerita Seram Kaskus

Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXII - Bagian 2 - 15 Juni 2011

Harap berdoa dulu sebelum baca bagian ini. Dan apabila agan-agan ada yang sulit mempercayai cerita ini, cukup simpan di dalam hati saja. Tidak perlu mempertanyakan tentang 'dia' yang muncul di cerita ini

18 Juni 2011

Diary…

Aku bingung bagaimana memulai cerita ini padamu.. pokoknya, hari ini benar-benar penuh dengan hal-hal baru yang kuketahui tentang orang-orang sepertiku deh…

Aku baru sekali ini mengalami hal seperti itu, terlepas dari banyaknya pengalamanku sendiri ataupun pengalamanku dengan Cindy, sepertinya belum pernah terjadi hal seperti yang kami alami dengan hadirnya Robert.

Hari ini, dari pagi-pagi benar Robert sudah menungguku di depan kost dengan mobilnya. Yang sontak membuat ramai kostku.

Robert tidak begitu tampan, tapi pembawaannya yang ramah dan tegas ditambah dengan selera berpakaian dan bentuk tubuhnya yang bagus membuat para cewek se-kostku penasaran.

Masalahnya ini berbeda dengan Brian yang menjemputku dengan menggunakan motor dan kenyataan bahwa Brian sendiri berpenampilan cuek dan sedikit berandalan, Robert yang tiba dengan mengendarai mobil sedan bermerk Mazda dan berpenampilan sangat modis tentu saja menghasilkan reaksi yang bagaikan bumi dan langit dengan reaksi pada Brian.

“Tau darimana kostku?” tanyaku.

“DIkasihtau Cindy” jawab Robert ringan sambil membukakan pintu untukku.

“Hah?” seruku kaget. Cindy? Wah, kacau ini anak, pikirku “Sebentar ya aku telpon dia”

“Dia?” tanya Robert.

“Cindy!” jawabku singkat seraya menempelkan Handphone pada telinga.

“Halo Lis” jawab Cindy setelah beberapa kali dering panggilan.

“Hei… maksud kamu apa sih?....” bisikku pada Cindy seraya sedikit menjauh dari Robert.

“Maksud apaan?” jawab Cindy berpura-pura tidak mengerti pada pertanyaanku.

“Kenapa kasihtau Robert kost aku segala!?” bisikku gusar pada Cindy lagi.

“Ohhh… hahahahahahaha” tawa Cindy meledak, cukup keras sehingga aku harus menjauhkan sedikit teleponku dari telinga.

“Ni anak malah tertawa…” aku merajuk.

“Dia tertarik sama kamu kayaknya” kata Cindy sambil berusaha menahan tawanya.

“Huhh..!! kamu lagi ngapain?” tanyaku.

“Lagi manasin mobil nih..” jawabnya, masih sedikit terkikik-kikik.

“Udah, aku sama Robert jemput kamu” kataku memutuskan.

“Ehh, jangan kalian berdua aja… hahahahahaha!!” ujar Cindy lagi sambil terbahak-bahak.

“15 menit ya aku datang ketempatmu, dandan sana buruan” kataku sambil mematikan sambungan telepon.

Aku berbalik dan berjalan ke tempat Robert menunggu di samping mobilnya. “Kita jemput Cindy ya” kataku sambil bergerak masuk ke kursi penumpang.

Robert hanya tersenyum dan berkata “Oke deh, kasitau ya di mana jemputnya” katanya.

“Deket kok, di *********” kataku menyebutkan daerah perumahan tempat tinggal Cindy.

“Ok deh” kata Robert sambil melajukan mobilnya.

Tidak lama kemudian kami menjemput Cindy yang sudah menunggu di depan rumahnya sambil tersenyum-senyum jahil.

Aku menatapnya dengan pandangan mengancam. Dan Cindy menjawabku dengan memberi isyarat kalau dia akan me-risleting mulutnya rapat-rapat. Meskipun wajahnya tampak setengah mati menahan tawa.

Untungnya sih Robert sepertinya tidak memperhatikan tingkah Cindy.

Perjalanan ke rumah sakit tempat mamaku melahirkan cukup jauh dan memakan waktu perjalanan sekitar satu setengah jam. Selama perjalanan, Robert ternyata seseorang yang… bagaimana aku mengatakannya? Intinya sepanjang perjalanan kami berbagi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan ‘mereka’.

Sebenarnya sih, Cindy yang banyak bercerita tentang pengalaman-pengalaman kami ke Robert, cowok itu hanya menjawab dan memberikan pendapat-pendapatnya.

Aku? Aku hanya nimbrung sedikit-sedikit saja, kebanyakan sih aku hanya mengangguk saja setiap Cindy bercerita.

Kami sempat mampir makan sebentar sebelum memasuki rumah sakit tempat mamaku melahirkan.

Ketika kami bertiga memasuki gerbang rumah sakit. Aku langsung merasakan mataku terasa hangat.

“Kamu merasakannya juga ya?” Robert menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.

“Hah? Oh… ‘mereka’ ya?” tanyaku.

“Iya, kamu merasakan hawa berat rumah sakit ini?” tanyanya lagi.

“Enggak sih, tapi mataku panas” kataku.

Ekspresi Robert terlihat menjadi bersemangat “Jangan-jangan ‘mahluk’ yang kamu lihat pas masih kecil ada di sini” katanya “Ayo, buruan deh!” serunya sambil menarik tanganku.

“Ciee.. ciee…” bisik Cindy pelan, cukup pelan untuk tidak terdengar Robert, tapi cukup keras untuk dapat kudengar.

Aku menatapnya dengan pandangan yang kurasa pandangan paling sadis yang bisa kulakukan, tapi bisa kulihat hal itu tidak berhasil kulakukan pada Cindy, karena kulihat dia malahan menyemburkan tawanya yang tertahan.

Aku digandeng oleh Robert memasuki pelataran rumah sakit hingga memasuki pintu lobby utama rumah sakit. Seperti biasanya, aku melihat banyak dari ‘mereka’ berkeliaran di sini. Dan yang mengherankan, aku melihat beberapa ‘mahluk’ dengan pakaian seperti… kau tau baju hujan yang berbentuk seperti boneka penangkal hujan? Bentuk poncho? Nah, para ‘mahluk’ dengan pakaian seperti itu berwarna hitam, abu-abu dan putih berdiri di sudut ruangan dan di depan beberapa ruangan.

‘Mereka’ tidak memiliki wajah, atau tepatnya aku tidak bisa melihat wajah mereka karena tertutup oleh tudung mereka, dan tidak juga kaki dan tangan mereka, karena poncho mereka yang panjang hingga tergerai di lantai.

Aku juga melihat beberapa dari ‘mereka’ yang berbentuk anak kecil bermain-main dan memanjat berbagai tempat di rumah sakit ini.

“Ini benar-benar ramai” celetuk Robert “Kamu tidak apa-apa kan? Matamu masih terasa panas?” tanyanya.

“Bukan panas, hangat… dan iya, masih terasa kok” jawabku.

“Gue mual nih… jangan deket-deket UGD yuk” kata Cindy.

Aku mengerti maksud dari Cindy, di depan ruangan UGD, tampak beberapa dari ‘mereka’ yang berwujud mengerikan. Ada dari mereka yang berjalan dengan menyeret tubuhnya dengan tangannya karena dari pinggang mereka kebawah sudah tidak ada, aku dapat melihat dengan jelas isi perut ‘mahluk’ itu menjuntai keluar dari pinggangnya. Kemudian adalagi yang kepalanya mengeluarkan sebagian dari isi otaknya, ada yang terbakar, dan masih banyak lainnya.

“Kayaknya aku setuju, ayo” kata Robert lagi seraya kembali menarik tanganku. Tanpa persetujuanku tentunya.

Kamipun kembali berjalan ke sayap lainnya dari rumah sakit itu, yaitu sayap tempat kamar bersalin dan kamar bayi.

“Mata kamu terasa makin panas ato enggak?” tanya Robert.

“Enggak juga sih, sama aja daritadi” jawabku.

“Hmm..” Robert tampak berpikir sejenak, kemudian menarik keluar kalung yang menggantung di lehernya dan menggenggamnya.

Robert berdoa sambil menggumam ke kalung yang digenggamnya.

Kau tahu Diary? Ini tampak seperti di film deh…

Robert membuka matanya, celingukan dan menatap lurus pada suatu lorong yang agak terbengkalai.

“Sini..” katanya, lagi-lagi menarik tanganku.

“Ada apa emangnya disitu?” tanyaku.

“Sesuatu yang paling kuat di rumah sakit ini” jelasnya singkat.

“Lu tau darimana?” timbrung Cindy.

Robert menatap Cindy dengan expresi serius campur jahil “Sebut saja… malaikat pelindungku”

Cindy berusaha menanyakan lebih jauh lagi perihal ‘malaikat pelindung’ Robert itu, namun Robert mengalihkan pertanyaan-pertanyaan Cindy. Kurasa Robert tidak ingin untuk membahas hal itu.

Kami bertiga tiba ke taman kecil di belakang rumah sakit setelah melalui lorong sepi itu.

Di taman kecil itu, hanya terdapat satu batu besar yang terletak tepat di sebelah pohon kecil.

“Di sini” kata Robert.

“Ada apa di sini?” tanyaku.

“Lihat saja” jawab Robert, dia berjalan beberapa langkah di depan kami. Melepas kalung yang dia pakai dan menggenggamnya dan mengacungkan tangannya ke arah batu dan pohon kecil itu.

Robert bergumam dalam kata-kata yang tidak bisa kudengar dengan sangat cepat. Aku hanya bisa mendengar desis bisikan dari kata-kata yang diucapkan olehnya.

‘DEGG’

Tiba-tiba jantungku bagai berdetak dengan sangat keras. Kemudian aku merasa sangat takut. Ketakutan yang entah darimana asalnya, ketakutan yang membuatku berdiri kaku di tempat.

Aku merasakan mataku semakin panas. “Ahhh!!” teriakku ketika kurasakan tiba-tiba panas di mataku meningkat dengan drastic.

‘ROOOOOOMM’

Kudengar suara rendah yang sangat besar langsung di dalam kepalaku. Setelah itu semuanya terasa sangat sunyi, suara desis bisikan Robert tidak terdengar lagi.

Aku merasakan rasa panas di mataku berangsur-angsur mereda. Aku membuka mataku.

Di sana, duduk di atas batu besar itu, sosok yang mengenakan mantel tebal berwarna coklat. Tidak ada satupun bagian tubuh sosok itu yang tidak tertutup oleh mantel itu kecuali mukanya. Wajahnya seperti wajah manusia lengkap dengan brewok yang sangat lebat di dagunya dan rambut yang keriting.

Tapi mata ‘mahluk’ itu berwarna hitam pekat, dengan pupil berwarna abu-abu yang hampir tersamarkan di dalam mata yang kelam itu. Dan tempat di mana seharusnya telinga berada, digantikan oleh tanduk yang besar yang mencuat ke atas kemudian menekuk turun dengan tajam hingga ujungnya berada tepat di samping kedua sisi rahang ‘mahluk’ itu.

‘Mahluk’ itu membuka mulutnya dan berbicara, namun aku tidak mengerti apapun yang dia katakan. Bahasa yang ‘mahluk’ itu pakai memiliki banyak bunyi seperti desisan pada kata-katanya.

“Robert… apa itu?” aku berbisik pada Robert yang sudah mundur sampai berada tepat di sisiku.

“Iblis..” katanya singkat, wajahnya sangat pucat ketika mengatakan itu.

Aku melihat Cindy, dia juga sama pucatnya seperti Robert, tatapannya kosong dan dipenuhi dengan ketakutan.

‘Mahluk’ itu berdesis lagi. Dan sekedipan mata, ‘dia’ sudah berada di depan aku dan Robert.

“Manusia”

Aku melihat ‘mahluk’ itu membuka mulutnya dan berbicara, tapi suara yang kudengar bukan berasal darinya, tapi dari belakangku.

Cindy…

“Cin?” panggilku.

“Apa yang kalian lakukan disini?” Cindy berbicara dengan nada datar dan terkesan dingin.

“Cin?”

“LIHAT AKU!!” Cindy berteriak, dan serta merta leherku berputar sendiri dan menatap ke ‘mahluk’ itu.

‘Mahluk’ itu mendekatiku dan menatap erat mataku “Kau” kata ‘mahluk’ itu ketika dia menatap mataku.

Daguku tiba-tiba mendongak dengan sendirinya hingga wajahku menatap lurus pada ‘mahluk’ itu.

“Matamu milik M******” kata ‘mahluk’ itu dengan menggunakan mulut dan suara Cindy.

“HAHAHAHAHAHAHAHA” tawa ‘mahluk’ itu melalui Cindy, bersamaan dengan perubahan raut wajah ‘mahluk’ yang berada di hadapanku menjadi sangat bengis.

“PERGI KAU IBLIS!!” tiba-tiba Robert berteriak dengan keras sambil mengacungkan tangannya yang menggenggam kalung kea rah ‘mahluk’ itu.

“ATAS NAMA TUHAN YANG LEBIH TINGGI DARIPADAMU, AKU MEMERINTAHKAN KAU UNTUK PERGI!!” teriak Robert.

Tetapi ‘mahluk’ itu tidak bergeming.

“Kau mencoba mengusirku dengan memakai nama sang cahaya?” olok ‘mahluk’ itu lewat mulut Cindy.

‘Mahluk’ itu bergeser dengan cepat hingga ke sampai ke depan Robert “Kau takut padaku?” oloknya lagi.

“Kau bahkan lebih takut padaku daripada rasa percayamu” Kata ‘mahluk’ itu lagi sebelum kemudian dia terkekeh dengan menggunakan mulut Cindy.

Robert mengacungkan kepalannya yang menggenggam kalung miliknya ke wajah ‘mahluk’ itu “IBLIS, AKU MEMERINTAHMU ATAS NAMA-“

“DIAM!!”

Robert terpental seiring teriakan ‘mahluk’ itu, dan suara yang keluar dari mulut Cindy terdengar bagaikan suara lelaki dengan suara kasar dan berat ketimbang suara Cindy yang tinggi.

“KAU TIDAK BERHAK MENYEBUT NAMA SANG CAHAYA!!” Suara yang keluar dari mulut Cindy terdengar berat dan serak.

Kulit wajah ‘Mahluk’ itu berubah menjadi kemerahan.

“KAU PENDOSA!! PEMBUNUH!!” teriak ‘mahluk’ itu lagi melalui Cindy, suara yang keluar dari mulut Cindy terdengar semakin berat dan serak, bahkan cenderung pecah dan menggaung.

Pembunuh? Apa maksudnya Robert pembunuh?

“DIAM!!” teriak Robert, dia berusaha bangkit dan mengacungkan lagi kalung miliknya ke ‘mahluk’ itu “AKU BUKAN PEMBUNUH!! PERGI KAU IBLIS!!” teriaknya lagi.

Wajah ‘mahluk’ itu kembali ke wajah manusia seperti sebelumnya, tapi senyuman bengis tidak hilang dari wajahnya.

“Bukan? Bukan pembunuh?” Tanya ‘mahluk’ itu, dengan suara yang berat dari mulut Cindy.

“Bagaimana dengan Kiki? Apa kau tidak mau bertanggung jawab atas nyawanya?” ejek ‘mahluk’ itu.

Aku memperhatikan kejadian itu dengan bingung. Aku tidak bisa mengatakan apapun..

Atau tepatnya, aku bingung harus berkata apa..

“DIAM!! DIAMM!! DIAAAMMM!!!” Teriak Robert, wajahnya terlihat sangat gusar dan marah. Bulir-bulir keringat berjatuhan dengan deras dari wajahnya.

“Masih tidak mau mengaku? Kalau begitu, biar Kiki sendiri yang bicara” kata ‘mahluk’ itu, wajahnya sangat bengis dan jahat.

Aku melihat sesosok ‘gadis’ berbaju kuning muncul dengan menembus permukaan tanah. Gadis itu berumur sekitar 10 tahun atau sekitar itu.

Gadis itu berdiri di depan Robert, dan Robert terlihat sangat pucat melihat kemunculan gadis itu.

Kakak….

Suara gadis itu terasa bergema langsung di dalam kepalaku. Robert menutup telinga dan matanya sambil berteriak-teriak.

Kakak… kenapa kakak tinggalin Kiki dulu?

“HENTIKAAN!! HENTIKAAAN!!” teriak Robert.

Kiki sendirian kak… Kiki sakit kak, kenapa kakak tinggalin Kiki?

“TOLONG!! HENTIKAN!! PLEASE!!” Robert berteriak-teriak sambil mengiba-iba. Hatiku merasa sedikit iba melihat Robert seperti itu.

Kiki sudah bilang ke kakak, Kiki gak mau ikut tes keberanian ke kuburan… kenapa Kakak tinggalin Kiki sama mereka?...

“AHHHHH!!! STOPP!! STOOOOPPP!!” Robert mulai menangis meraung-raung sambil berguling-guling.

Kiki gak bisa kemana-kemana lagi kak… Kiki harus tinggal bersama mereka… Kiki sudah jadi milik mereka….

“AAAHHHHHHHH!!! MAAFIN KAKAK KI!! MAAFIN KAKAK!! Huuu..huuuu..huuuuu…” Robert sudah membungkuk lemas tidak bergerak, kedua tangannya memegang kepalanya yang menunduk hingga menyentuh tanah.

“Kau sudah mengaku sekarang Pembunuh?” aku terkesiap mendengar suara ‘mahluk’ itu kembali keluar dari mulut Cindy.

“Ampun .. please.. stop…!!” Robert memohon-mohon.

“Boleh, tapi ada bayarannya” kata ‘mahluk’ itu sambil tersenyum bengis.

“Please…. Please….” Robert memohon tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Bagus, sekarang hujat Tuhan yang kau puja itu, baru aku akan melepaskanmu” kata ‘mahluk’ itu.

*Sensor*

Robert mengatakannya… dia menghujat nama Tuhan yang dia percaya.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA” ‘mahluk’ itu tertawa dengan keras, kali ini tawanya datang dari dua tempat, dari mulut Cindy dan langsung ke dalam kepalaku.

“BAGUS!!” teriak ‘mahluk’ itu dengan nada senang “Kalau begitu, akan kuberikan satu bonus!! Kiki akan kubebaskan dari jahanam kuburan tempat kau meninggalkan dia!!”

Aku terngaga mendengarnya. Apa tidak salah?

“TAPI, MULAI SEKARANG KAU HARUS SELALU MENGGENDONG KIKI DI PUNGGUNGMU!!” teriak ‘mahluk’ itu menggema melalui mulut Cindy.

Kakak… kita tidak berpisah lagi.. asyik…

Kemudian hantu gadis itu naik ke punggung Robert dan memeluknya dengan erat.

“AHHH!!!” Robert mengeluarkan teriakan terakhirnya sebelum akhirnya pingsan.

‘Mahluk’ itu menatapku.

Sekali lagi, dengan sekedip mata, ‘dia’ sudah berada di depanku.

“Kau ini apa?” tanyaku dengan suara gemetar.

“Aku ini adalah kegelapan besar” jawab ‘mahluk’ itu.

“Aku… aku tidak mengerti..” kataku.

“Kalian manusia memberikan aku angka untuk kebesaranku dari yang lainnya” kata ‘mahluk’ itu lagi.

“Angka?” tanyaku.

“Aku adalah yang ke – 33 dari legium, aku adalah penguasa atas mahluk yang sudah mati” katanya menggelegar.

“Apa?” hanya itu yang dapat kukatakan sebagai responku. Otakku tidak mampu mencerna apa yang dikatakan oleh ‘mahluk’ ini.

“Aku tidak akan menyentuhmu, kau adalah milik ‘M******’ “ kata ‘mahluk’ itu.

“ ‘M******? Apa maksudmu?” tanyaku keheranan.

“Pemilik dari matamu” kata ‘mahluk’ itu.

Kemudian aku merasakan perlahan-lahan pandanganku mengabur, dan akhirnya aku hanya ingat kegelapan.

Begitu tersadar, aku sudah berada di ruangan berwarna putih.

“Lu udah sadar?” Tanya suara di sampingku.

Aku mendapati Cindy sedang duduk di sisi tempat tidurku.

“Di mana ini?” tanyaku.

“Ruang kosong di rumah sakit, tadi gua liat lu tergeletak gitu ama si Robert pas gua sadar” kata Cindy.

“Kamu ingat?” tanyaku.

“Enggak… gua cuman inget sampe muncul tu mahluk di atas batu, abis tu kayaknya gua pingsan, terus sadar-sadar gua liat lu ama Robert yang kegeletak” jelas Cindy.

Jadi dia tidak sadar… pikirku.

“Mana Robert?” tanyaku pada Cindy setelah aku melihat ke tempat tidur lainnya yang kosong di ruangan ini.

“Dia udah sadar tadi, terus buru-buru pulang” kata Cindy “Gua udah bilang ke dia, kalo tungguin lu sadar, soalnya kan kita perginya bareng mobil dia tadi, masa kita pulang sendiri?” komentar Cindy sedikit terdengar kesal.

“Gak apa-apa, biarin Robert pulang duluan” kataku pada Cindy, tadi pasti sangat berat untuknya tambahku dalam pikiranku.

“Oh.. tapi gua liat samar-samar kayaknya pas si Robert jalan tadi, kayak ada anak kecil baju kuning jalan di samping dia” kata Cindy lagi.

Iya.. adiknya yang sudah mati… pikirku.

Akhirnya aku dan Cindy pulang dengan menggunakan taksi setelah aku cukup kuat untuk berdiri.

Barusan tadi, aku mencoba menghubungi nomor HP Robert, tapi sepertinya dimatikan karena tidak terdengar nada sambung sama sekali.

Mudah-mudahan cowok itu baik-baik saja deh…


=== Cerita Selanjutnya ===