Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXIV - Bagan 1 - 1 Juli 2011 - Cerita Seram Kaskus

Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXIV - Bagan 1 - 1 Juli 2011

Hari ini benar-benar terlalu banyak yang terjadi secara bersamaan sehingga aku bingung darimana aku harus memulainya…

Hari ini dimulai dari serba kebetulan…

Kebetulan hari ini semua dosen yang harusnya memberikan kuliah mengundurkan jadwalnya..

Kebetulan hari ini aku berangkat terlalu pagi sehingga sudah terlanjur datang sampai di kampus sebelum ketua angkatanku mengirimi sms pemberitahuan kalau satu-satunya kuliah yang tersisa hari ini juga dibatalkan…

Kebetulan hari ini Cindy memutuskan untuk bolos kuliah sehingga dia tidak datang ke kampus…

Kebetulan juga hari ini Robert memutuskan untuk kembali datang ke kampus setelah sekian lama dia tidak menampakkan dirinya sama sekali di kampus…

Dan kebetulan terakhir, adalah kemunculan kembali ‘mahluk’ itu…

Jadi, seperti yang telah kuceritakan tadi, aku sudah tiba di kampus jam 7:30 pagi dan memutuskan untuk sarapan sekenanya yaitu bubur.

Kemudian aku menunggu hingga jam 8 hanya untuk mendapatkan sms dari ketua tingkatku kalau kuliah pak H***** dimundurkan ke hari rabu depan jam ke-3.

Ampun deh… jadi untuk apa aku bangun pagi-pagi tadi.

Dengan hati masih agak kesal aku menelepon Cindy, daripada sia-sia datang ke kampus, mungkin sebaiknya aku menebeng kelas Cindy saja deh. Toh dia juga hanya kuliah jam ke-1 saja hari ini.

“Halo…” suara Cindy menjawab dari seberang telepon.

“Lho… kamu baru bangun tidur ya?” tanyaku.

“Haa?” suara Cindy bingung kemudian tak lama kudengar suara berisik Cindy sedang beranjak bangun dari tempat tidurnya.

“Wah.. iya telat bangun gue” jawabnya ringan.

“Lalu kamu gimana dong datang kesininya? Telat dong?” rumah Cindy berjarak sekitar 45 menit dari kampus walaupun dia melalui jalan tol.

“Yah… gue gak masuk deh sekalian, paling tar siang aja sekalian ngajak lo makan siang sekalian” katanya.

“Ohh…” ucapku kecewa, tapi buru-buru aku melanjutkan “Eh..eh, gak usah Cin, aku gak ada kuliah juga kok, ini mau pulang.”

“Oh gitu, loh kuliah jam-A lo batal juga?” tanya Cindy.

“Iya nih, aku baru dikasih tau barusan, tapi gak apa lah, itung-itung sarapan” jawabku.

“Hmm.. yowes kalo gitu, gue tidur cantik lagi deh kalo gitu, ntar sore aja gue ke kost lo yah” kata Cindy.

“Ke kost aku? Ngapain?” tanyaku.

“Mau perkosa lo, hahahahahahaha… enggak lah, katanya mo cobain Ragusa?” canda Cindy.

“Oh iya lupa, ya sudah nanti sore ya” kataku.

“Sipp… oke kalo gitu goodnight again” seru Cindy seraya memutuskan sambungan telepon.

Meskipun aku berkata ke Cindy kalau aku akan pulang, tapi aku menyempatkan diri untuk berjalan-jalan sedikit di kampus.

Untungnya penjual buku komik dan penjual DVD sudah mulai berdagang meskipun pagi begini.

Setelah puas memborong beberapa buku komik dan dua puluh judul DVD film dan karaoke, aku berjalan kembali ke kantin kampus untuk membeli makanan untuk nanti siang.

Dan di kantin aku melihat cowok itu. Robert.

Tadinya aku hampir-hampir tidak mengenali dia, penampilannya yang rapi kini terlihat sedikit lusuh dan berantakan, tubuhnya yang tadinya terawat terlihat sangat kurus, dan wajahnya sangat-sangat pucat.

Aku termenung beberapa saat melihat cowok itu sampai kudengar suara datang dari sisiku.

“Kakak..”

Aku menengok ke samping, dan tidak menemukan siapa-siapa.

“Kakak…” suara itu terdengar lagi, tapi kali ini aku merasakan sentuhan dingin di kulit tanganku.

Aku menengok ke bawah, ke arah tanganku.

Berdiri di sampingku, adalah hantu dari adiknya Robert. Kiki.

Penampilannya masih seperti terakhir kali aku melihatnya ketika kejadian beberapa minggu lalu. Mengenakan baju anak-anak berwarna kuning dengan rambut sebahu.

Wajahnya terlihat sangat polos tapi aku bisa merasakan kalau anak ini lebih dewasa dari kelihatannya, pandangan matanya terlihat sangat serius.

“Kakak bisa melihatku kan?” tanya Kiki.

Aku mengangguk.

“Kakak temannya koko kan?” tanya anak itu lagi.

Aku menatap ke arah Robert yang sepertinya sedang tertidur sambil bersender pada bangku kantin.

Aku mengangguk sekali lagi.

“Tolong koko..” kata Kiki padaku dengan raut serius dan terlihat khawatir.

“Tolong?” tanyaku.

“Koko bisa mati karena Kiki…” kata anak itu sambil menatap khawatir ke arah kakaknya sedang tidur.

“Mati!?” tanyaku terkejut.

Kiki mengangguk.

“Apa maksudnya? Robert bisa mati? apa dia sakit?” tanyaku pada Kiki.

“Kiki yang membuat koko sakit” jawabnya.

“Aku.. kakak tidak mengerti maksud Kiki..” kataku bingung.

“Kakak bisa lihat Kiki seperti saat Kiki masih hidup… tapi koko, koko cuma bisa lihat Kiki jadi bentuk yang serem… koko selalu ketakutan kalau Kiki ada di dekat koko” kata Kiki padaku.

Aku menatap bergantian di antara mereka berdua. Kakak dan adik yang malang… pikirku.

“Kiki udah enggak benci koko kan?” tanyaku.

Kiki menggeleng “enggak, Kiki sayang koko” jawabnya sungguh-sungguh.

“Kalau begitu, Kiki mau mencoba pergi ke surga? Supaya koko lebih tenang?” tanyaku.

“Kiki mau.. tapi gak bisa kak..” jawab Kiki, matanya tampak sedikit berkaca-kaca.

“Enggak bisa? Kenapa?” tanyaku, Kiki tampak sangat sedih.

“Kiki… mahluk jahat yang mengurung Kiki yang bikin Kiki gak bisa pergi dari koko…” jelas anak itu “Kiki cuma bisa pergi segini aja… gak bisa lebih jauh lagi” anak itu berjalan sedikit ke belakangku, dan dengan tangannya dia menyentuh semacam dinding yang tidak tampak.

“Tuh.. lihat..” katanya, “Tapi, anehnya Kiki bisa di dekat kakak tanpa harus ketarik balik ke Koko… biasanya kalau Kiki pergi agak jauhan, rasanya Kiki selalu mau ketarik balik ke Koko…” Kiki menyentuh-nyentuh tanganku, terasa dingin di kulitku “Tapi anehnya enggak tuh sama Kakak, Kiki bebas dekat-dekat kakak begini”

Aku mengangguk. “Lalu kakak harus ngapain?” tanyaku.

“Kiki gak tau, tapi koko kan suka kakak… jadi mungkin…” Kiki menatapku penuh harap.

“Hahh?? Ro-Ro-Robert suka aku?” tanyaku terbata-bata.

“Iya!” Kiki mengangguk mantap.

“Kiki jangan bercanda ah, darimana tahu itu coba?” tanyaku masih gugup.

“Tau kok, Handphone koko aja wallpapernya foto kakak, fotonya diambil dari belakang kakak sih” jawab Kiki dengan senyuman sedikit jahil.

“Ehh??” secara reflek aku melihat ke arah Robert yang mulai mendengkur dalam tidurnya.

“Koko gak keren ya? Apalagi boboknya begitu…” komentar Kiki “Maaf ya kak, tapi kalau malam koko gak bisa tidur karena ada aku..” katanya setengah berbisik, wajahnya terlihat khawatir dan terluka.

Aku menggeleng “Bukan.. bukan itu.. kakak cuma khawatir kalau kakak tidak bisa berbuat banyak juga” kataku pada Kiki. “Tapi kakak coba sebisa kakak ya?” kataku.

Kiki mengangguk dengan penuh semangat.

Dan itu malah semakin membuatku gugup.

Aku mengambil tempat duduk di depan Robert.

Robert sepertinya menyadari kehadiranku, dia mulai terbangun dan membuka matanya perlahan-lahan.

Aku belum pernah melihat orang dengan perubahan ekspresi secepat perubahan ekspresi Robert ketika dia menyadari kalau aku duduk di depannya.

Mulai dari wajah mengantuk, kaget, panik, berpura-pura tenang, kemudian mencoba berbicara namun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya, menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menggeleng-geleng kepala, mengintipku dari sela jarinya, menarik nafas panjang, mencoba berbicara lagi dan kembali gagal, sampai akhirnya dia menghantamkan kepalanya ke meja karena frustasi.

Dan itu hanya terjadi dalam selang waktu kurang dari 3 menit…

“He..hey.. barusan bunyinya kenceng banget, kamu enggak apa?” tanyaku sedikit khawatir karena Robert menghantamkan kepalanya ke meja kantin. Untungnya meja kantin kami bukan terbuat dari kayu.

Robert menarik nafas panjang lagi dan menghembuskannya, dalam posisi wajah masih menempel pada meja kantin.

Kemudian dia mengangkat kepalanya perlahan dan menatapku.

“Lisa..” bisiknya pelan.

“Uhm..” aku mengangguk.

“Kenapa kamu di sini?” tanyanya.

“Ini kan kampus?” jawabku.

“Oh iya ya..” Robert menggumam sambil celingukan melihat sekelilingnya. Sepertinya dia masih belum tersadar sepenuhnya.

“Kamu enggak kuliah?” tanyaku.

Robert menggeleng “hari ini gak ada kuliah.. kita kan sekelas jam – A…” katanya.

Ohh.. iya… pikirku, baru teringat akan hal itu.

“Iya, kamu kebanyakan bolos sih, lupa deh..” kataku.

Di luar dugaanku, Robert hanya mengangguk “Ehm.. aku masih rada nyesuaiin diri deh..”

Aku hanya diam menunggu kata-kata Robert yang masih menggantung.

“Kamu tau kan? Soal Kiki?” sambungnya.

Aku mengangguk. “Iya, aku tau kok” kataku “Sebenarnya sih, tadi aku sudah bertemu dengan Kiki”

Robert sedikit terbelalak mendengar kata-kataku, kemudian wajahnya terlihat tidak enak dan tampak bersalah “sorry ya, Kiki gak nakutin kamu kan?”

“Gak sih.. di mataku Kiki kelihatan seperti anak-anak biasa kok” kataku yang kembali membuat Robert terlihat kaget.

“Ooohh… begitu…” katanya akhirnya.

“Dia.. maksudku Kiki, dia sudah bilang tentang aku ya?” tanya Robert.

Aku mengangguk.

“Bukan salah anak itu..” kata Robert sambil menengadahkan pandangannya. Matanya tampak sendu dan menatap jauh.

“Iya..” kataku.

“Bukan mau Kiki juga aku jadi begini…” kata Robert tanpa menurunkan pandangannya “Malahan… semuanya ini salahku”

“Sudahlah, jangan bilang begitu, Kiki tidak membenci kamu kok” kataku.

“Hmm..” Robert mengangguk tipis.

“Kamu.. tidak bisa tidur?”

Robert menatapku dengan pandangan lelah “Bukan salah Kiki..” katanya singkat.

“Ada apa?” tanyaku.

“Aku selalu mimpi mengenai…. Saat aku meninggalkan Kiki sendirian di kuburan dulu…” kata Robert sedih.

Aku sebenarnya sangat-sangat penasaran akan cerita mereka berdua dulu. Tapi memutuskan untuk menahan rasa penasaranku untuk sekarang.

“Kamu… sudah coba melakukan sesuatu?” tanyaku.

Robert menggeleng “sudah gak bisa lagi..” katanya.

“Maksudnya?”

“Aku… sudah gak bisa ngelakuin pengusiran… kemampuanku udah ilang sepenuhnya” jelas Robert.

“Ohh…” hanya itulah yang bisa kukatakan mendengar perkataan Robert itu.

“Aku… aku udah menghujat Tuhan.. aku sudah jatuh di kuasa kegelapan” Robert bercerita “Aku tidak bisa mendengar lagi suara dari Malaikat… aku sama sekali tuli sekarang, aku tidak mendengar lagi suara atau petunjuk apapun lagi… aku sudah terbuang…”

Air mata mulai mengalir di wajah Robert.

“Sorry…” kataku.

Robert menggeleng “Enggak, aku sih gak keberatan soal itu” kata Robert dengan suara bergetar “Tapi, aku malah jadi gak bisa melakukan apa-apa soal Kiki, aku bahkan gak bisa membantu dia melanjutkan perjalanannya”

“Maaf aku juga tidak bisa apa-apa” kataku.

“Enggak juga, kamu gak salah apa-apa kok, ini memang hasil perbuatanku sendiri..” kata Robert.

Setelah itu kami berdua terdiam dengan canggung. Aku tidak menemukan kata-kata apapun untuk menghibur Robert.

“Umm.. setelah ini kamu kemana?” tanyaku mencoba memecah keheningan canggung ini.

“Entahlah.. mungkin aku akan di sini sampai sore..”

Aku lalu mengajaknya.. atau lebih tepatnya memaksanya untuk menemaniku ke mall C******* dengan dalih untuk menemaniku belanja bulanan.

Hari sudah hampir sore ketika aku selesai berbelanja kebutuhan bulananku. Berhubung sekitar dua jam lagi Cindy akan datang ke kostku, aku mengajak Robert untuk ikut dengan kami sekalian ke Ragusa. Sekali lagi, dengan setengah memaksa tentunya. Aku tidak sampai hati setiap berserobok pandang dengan Kiki yang menatapku penuh harapan dari balik bahu Robert.

Robert setuju dengan alasan kalau memang sebaiknya dia mengantar aku pulang ke kost dulu dengan belanjaanku yang sangat banyak.

Sesampainya kami di kostku, yang lebih tepat dikatakan sebagai rumah kontrakan, aku meminta Robert menunggu di depan kamarku sementara aku memasukkan belanjaan makanan-makanan ke dalam kulkas.

Selagi aku memasukkan bahan-bahan makanan di dalam kulkasku, aku merasakan bulu kudukku merinding. Bahkan bukan hanya merinding biasa, tapi seakan bulu kudukku menegang.

Dan tanpa peringatan apa-apa, leher bajuku ditarik dengan keras hingga aku tersentak ke belakang.

“Ahh!!?” teriakku kaget sembari badanku terhempas ke lantai.

Aku berusaha duduk dan melihat sekelilingku. Tidak ada apa-apa…

Aku ketakutan… hanya sedikit dari ‘mereka’ yang bisa melakukan kontak langsung seperti ini. Kalau bukan ‘mahluk’ yang benar-benar sangat kuat, tidak akan bisa melakukan kontak fisik sejelas ini, Pikirku.

Aku berdiri perlahan-lahan sambil masih memperhatikan sekelilingku…

Tidak terlihat apapun…

Tapi bulu kudukku masih berdiri dengan tegangnya…

Seakan-akan seluruh tubuhnya mengirimkan sinyal adanya bahaya..

Dan tiba-tiba, sesuatu mencengkram kakiku.


=== Cerita Selanjutnya ===